Pembangunan yang Berhenti di Beton
Pembangunan kerap diukur dari seberapa mulus jalan, seberapa megah gedung, atau berapa banyak fasilitas umum yang muncul di peta kota. Itu penting—tetapi ukuran itu hanya menangkap wajah kota. Ukuran yang sama tidak selalu menjawab apakah warga yang menempati kota itu hidup lebih sehat, lebih berpendidikan, atau lebih sejahtera.
Di Depok—termasuk di wilayah Cimanggis—data menunjukkan sebuah ketidakseimbangan yang subtansial antara pembangunan fisik dan kondisi sosial-ekonomi warga. Persoalan utama hari ini bukan sekadar kurangnya aspal atau lampu jalan; persoalan itu lebih dalam: kemampuan ekonomi rumah tangga, akses layanan dasar, ketidaksesuaian keterampilan tenaga kerja dengan kebutuhan pasar, serta lemahnya penguatan karakter pada ranah pendidikan.
Beberapa fakta penting yang tidak bisa diabaikan:
1. Tingkat kemiskinan menurun, tetapi masih ada fragmen rentan yang besar. Pada 2024 persentase penduduk miskin Kota Depok tercatat 2,34% atau sekitar 62.600 jiwa—angka yang terbilang kecil secara proporsi, namun tetap berarti bagi puluhan ribu keluarga yang rentan.
2. Angka pengangguran total menunjukkan perbaikan, namun persoalan pengangguran pemuda serius. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Kota Depok pada Desember 2024 tercatat sekitar 6,27% — turun dari tahun sebelumnya — tetapi TPT pemuda (usia produktif muda) jauh lebih tinggi, mencapai ~14% pada beberapa pengukuran. Ini menandakan masalah struktural pada penyerapan tenaga kerja bagi generasi muda.
3. Ruang pemuda yang tidak memperoleh pendidikan atau pekerjaan (NEET) cukup besar. Profil Pemuda Kota Depok 2024 mencatat 18,24% pemuda masuk kategori NEET (Not in Employment, Education, or Training), memperlihatkan kelompok yang mudah terjatuh ke dalam lingkaran pengangguran panjang dan kerentanan sosial.
4. Akses layanan kesehatan menunjukkan cakupan tinggi secara administratif, namun hambatan akses nyata di lapangan. Kepesertaan JKN di Depok dilaporkan mendekati target universal (mis. 96,4% per Desember 2023), tetapi masih ditemukan masyarakat yang menunda berobat karena biaya tidak langsung, ketidaktahuan prosedur, atau keterbatasan layanan primer. Ini menunjukkan gap antara kepemilikan kartu layanan dan pemanfaatan layanan kesehatan.
5. Masalah putus sekolah belum sepenuhnya teratasi pada level keluarga. Walau indikator makro menunjukkan perbaikan, sejumlah dataset lokal mencatat masih ada anak-anak yang tidak melanjutkan sekolah pada berbagai jenjang—fenomena yang seringkali berakar pada tekanan ekonomi keluarga dan kurangnya sosialisasi program bantuan pendidikan.
Dari data itu muncul implikasi kebijakan yang jelas: infrastruktur tanpa intervensi sosial yang kuat akan menghasilkan kota yang ‘rapi’ secara rupa tetapi rapuh secara sosial-ekonomi. Berikut rekomendasi kebijakan operasional yang bersifat terukur dan realistis:
1. Skema Bantuan Pendidikan Terintegrasi dan Targeted
Implementasikan data-driven targeting sehingga bantuan operasional pendidikan (biaya transport, buku, seragam, kuota internet) tepat sampai ke keluarga rawan.
Bentuk program return-to-school dan remedial learning yang digabungkan dengan bantuan ekonomi mikro untuk keluarga agar anak tidak kembali drop out karena tekanan ekonomi.
Indikator keberhasilan: penurunan angka putus sekolah per jenjang (target penurunan tahunan mis. 10% APTS per tahun).
2. Perkuat Akses Kesehatan Primer dan Sosialisasi JKN
Perluas klinik keliling dan posyandu yang mengedukasi prosedur berobat dan memfasilitasi pendaftaran BPJS bagi keluarga rentan.
Ukur pemanfaatan layanan (bukan hanya kepemilikan kartu): persentase kunjungan puskesmas per 1.000 penduduk dan penurunan rujukan darurat akibat pengabaian penyakit kronis.
3. Pelatihan Vokasi Berbasis Pasar dan Penempatan Kerja
Sinergikan Disnaker, BLK, perguruan tinggi, dan industri lokal untuk menyusun kurikulum singkat yang langsung menjawab kebutuhan sektor—mis. logistik, ICT, layanan kesehatan primer, industri kreatif.
Tawarkan insentif bagi perusahaan yang merekrut peserta pelatihan lokal (subsidi upah awal atau pengurangan pajak daerah).
Indikator keberhasilan: persentase lulusan pelatihan yang terserap kerja dalam 6 bulan (target minimal 60–70%).
4. Penguatan Pendidikan Karakter dan Moral di Sekolah
Masukkan modul etika kerja, literasi digital, dan pendidikan sosial-emosional dalam kurikulum lokal; latih guru untuk metode pengajaran karakter yang terukur.
Implementasikan monitoring perilaku sekolah (kasus bullying, ketidakhadiran, pelanggaran disiplin) sebagai indikator kualitas pendidikan moral.
Pesan terakhir ini sederhana: Kota yang bermartabat bukan hanya tentang jalan mulus atau lampu taman. Kota bermartabat adalah kota di mana setiap rumah tangga punya akses ke pendidikan bermutu, layanan kesehatan yang dapat dimanfaatkan, dan peluang kerja yang sesuai dengan kemampuan warganya — disertai penguatan nilai dan karakter generasi muda.
Sebagai kader PSI di DPC Cimanggis, saya mendesak agar pemangku kebijakan daerah menyelaraskan rencana fisik kota dengan investasi sosial yang terukur—bukan menggantikan pembangunan fisik, melainkan melengkapi dan meneguhkan tujuan pembangunan itu sendiri. Jika tidak, kita hanya akan menata kota yang indah secara foto, namun gagal menata kehidupan warganya.
Depok, 17 Desember 2025
Oleh: Suhenra
Kader Partai Solidaritas Indonesia (PSI) DPC Kecamatan Cimanggis
Catatan sumber data:
*Profil Kemiskinan Kota Depok, BPS Kota Depok (Publikasi 30 Des 2024).
*Profil Ketenagakerjaan Kota Depok — Hasil Sakernas/Publikasi BPS (2024/2025).
*Profil Pemuda Kota Depok 2024 — BPS Kota Depok (NEET dan TPT pemuda).
*Informasi cakupan JKN / kepesertaan BPJS dan capaian kesehatan Kota Depok (situs resmi Pemkot / BPJS Cabang Depok).
*Dataset dan laporan lokal mengenai angka putus sekolah & APTS (Satudata Depok, laporan pendidikan lokal).
Reviewed by WARTA SWADAYA
on
Desember 17, 2025
Rating:

Tidak ada komentar